Etika Perang dalam Islam

13.57

Dunia sempat terhenyak ketika terdengar kabar pemerintah Turki dikudeta oleh segelintir oknum militer. Dan dunia menarik nafas lega lantaran kudeta tersebut berhasil dilumpuhkan dalam waktu sekian jam. Cepat sekali. Kita sama-sama mengetahui bahwa kudeta alias coup d'État terhadap pemerintah yang sah adalah perbuatan yang sangat zalim.

Anehnya Muslim-Muslim liberal menjadikan kudeta ini sebagai bahan olok-olok. Mereka seolah-olah senang ketika kudeta itu terjadi. Bukannya prihatin, boro-boro kuatir. Sebagian lagi menyebut-nyebut dan mengidentikkan Islam dengan kekerasan. Kudeta. Terorisme. Peperangan. Adalah benar Muslim pernah terlibat dalam sejumlah peperangan. Namun mengidentikkan Muslim dengan kekerasan adalah kesimpulan yang terburu-buru dan jelas-jelas keliru.

Terlepas dari itu, adakah syariat perang dalam Islam? Jelas, ada. Namun itu terjadi ketika muslim diserang atau dijajah. Dan ini merupakan pilihan terakhir. Lihatlah bagaimana pahlawan Indonesia terpaksa berperang pada masa penjajahan dulu. Lihat pula bagaimana Nabi Muhammad dan sahabat terpaksa angkat senjata pada saat Madinah diserang dulu. Untuk kondisi-kondisi seperti ini, berdiam diri adalah pilihan yang keliru. Share isi tulisan ini kalau Anda setuju.

Jarang orang tahu, terdapat sederet etika dalam perang menurut Islam. Tidak boleh menyerang musuh yang sudah menyerah. Tidak boleh menyerang anak kecil, wanita, orangtua, dan pemuka agama manapun. Tidak boleh memusnahkan tanaman, hewan, dan rumah ibadah manapun. Perlakukan tawanan dengan baik. Patuhi perjanjian dengan baik. Dan masih banyak lagi.

Setiap kejadian tentu menyimpan hikmah, termasuk perang-perang yang terpaksa dialami oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat. Apa saja hikmahnya?
  
Mari kita lihat Perang Fijar yang merupakan perang pertama yang dialami seorang Muhammad. Ini terjadi menjelang dirinya berusia 20 tahun dan belum diangkat menjadi nabi. Setidaknya, perang ini mengajarkan kita untuk siap bersaing walaupun masih sangat muda (Competitive Although Young) dan berani memutuskan walaupun keadaan tidak ideal (Decisive Although Unideal).

Perang Badar dan Perang Uhud adalah dua perang yang paling populer. Kemenangan Perang Badar mengajarkan kita untuk merasakan kehadiran dan pertolongan Allah dalam bertindak (The Existence of Allah). Walaupun pasukan minim dari segi jumlah dan pengalaman, namun itu tidak menjadi penghalang sama sekali dalam meraih kemenangan. Asalkan yakin. Asalkan sungguh-sungguh.

Menariknya, kekalahan Perang Uhud mengajarkan kita bahwa taat kepada Allah saja tidak cukup, hendaknya juga taat kepada Rasul (The Existence of Rasul). Bukankah itu esensi dari dua kalimat syahadat, Allah dan Rasul? Selain itu, kalau di Perang Badar Allah menurunkan keajaiban, maka di Perang Uhud Allah menetapkan sunatullah. Siapapun maklum bahwa ketidaktaatan, ketidakkompakan, dan ketidakwaspadaan akan berujung pada kekalahan. Itulah sunatullah dan itu pula yang Allah tunjukkan melalui Perang Uhud.

Tidak ada kejadian yang sia-sia. Selalu tersimpan hikmah dari setiap kejadian. Entah itu pada perang maupun pada kudeta. Kejadian di Turki, misalnya. Dari kudeta ini dapat diketahui secara pasti siapa saja oknum militer yang menjadi musuh dalam selimut selama ini. Dari kudeta ini juga dapat diketahui bahwa mayoritas warga Turki membela Erdogan dan menentang kudeta, di mana ini terlihat dari gelombang massa di jalanan membela pemerintahan yang sah.

Kita doakan semoga Turki, Prancis, dan negeri-negeri lainnya selalu damai. Sembari kita syukuri betapa damainya Tanah Air kita, Indonesia tercinta. Sekian dari saya, Ippho Santosa.

#dibagi dari saluran telegram Ippho Santosa - ipphoright

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe